Pelarangan iklan susu formula bagi bayi di bawah usia satu tahun bukan
tanpa alasan. Rendahnya pemberian ASI bagi bayi dan tingginya risiko
yang ditimbulkan oleh susu formula adalah dua di antara banyaknya alasan
yang bisa disebut. Selain, tentunya, iklan itu melanggar kode etik
pemasaran susu formula.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih membuat aturan pelarangan
iklan susu formula untuk anak usia di bawah satu tahun di berbagai media
baik cetak, elektronik, maupun media luar ruang. Aturan lain yang juga
ditetapkan adalah melarang rumah sakit, tempat bersalin, ataupun klinik
kesehatan yang bekerja sama dengan produsen susu formula.
Aturan ini tentunya sangat disambut positif, terutama oleh kalangan
praktisi kesehatan dan lembaga swadaya masyarakat yang sering menjumpai
berbagai pelanggaran kode etik susu formula. Di antara mereka ada dr
Dien Sanyoto Besar, SpA, IBCLC.
Ia sering melihat, papan nama di boks bayi di rumah sakit atau klinik
bersalin menjadi papan iklan susu formula. Di beberapa rumah sakit dan
klinik bersalin memang tak jarang terlihat, bayi yang baru lahir diberi
susu formula menggunakan botol.
Belum lagi ketika bayi pulang dari rumah sakit, orangtua dibekali
bingkisan berisi susu formula untuk bayinya. “Lalu ASI-nya di mana?
Menurut saya, ini tindakan yang kejam karena hak bayi tidak dipenuhi dan
bayi sudah diperebutkan oleh susu formula,” kata dr Dien.
Akibatkan pemberian ASI turun
Sebetulnya, banyak negara sudah menerapkan secara ketat bahwa fasilitas
kesehatan tidak boleh digunakan sebagai tempat untuk promosi susu
formula. Produk untuk bayi itu juga tidak diperkenankan untuk diiklankan
menggunakan media apa pun. Rumah sakit bahkan tidak dibenarkan
mendapatkan susu formula dengan potongan harga, apalagi diberikan secara
gratis.
Praktik-praktik promosi seperti ini, tanpa disadari, akan berpengaruh
terhadap pemberian ASI. Sebuah studi yang mengamati hubungan antara
iklan di majalah pengasuhan dan ASI antara tahun 1972 dan 2000 menemukan
bahwa ketika frekuensi iklan untuk susu tambahan meningkat, persentase
pemberian ASI menurun.
Adapun studi yang dilakukan oleh US Congressional Accountability Office
tahun 2006 menunjukkan bahwa pemberian ASI pada mayoritas ibu yang
menerima sampel susu formula gratis di rumah sakit ternyata lebih
rendah. Itu sebabnya, promosi susu formula tidak diperbolehkan mengingat
efeknya yang dapat memengaruhi pemberian ASI.
Praktik seperti ini juga tidak sesuai dengan kode etik pemasaran susu
formula yang diterapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak
tahun 1981.
Tekad menteri kesehatan
“Kode etik pemasaran diperlukan karena pemberian ASI belum optimal.
Diperkirakan, hal itu masih menyumbang kematian sekitar 1,4 juta anak di
bawah usia 5 tahun setiap tahunnya,” ungkap David Clark, legal officer dari UNICEF.
Pemberian ASI juga belum optimal di Indonesia. Hal ini pula yang membuat
Menkes mengambil langkah serius dalam hal pelarangan susu formula untuk
anak usia di bawah setahun.
Larangan ini akan diterapkan pada tahun 2011. Saat ini, rancangan
peraturan pemerintah (RPP) terkait pelarangan itu sedang digodok oleh
Kementerian Kesehatan. RPP ini, diutarakan Menkes sebagaimana dikutip Sehatnews.com, sudah
mendapat persetujuan dan presiden untuk dilanjutkan. Diharapkan, RPP
itu pada tahun depan sudah menjadi peraturan pemerintah (PP).
PP ASI sebagai amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan akan mengatur tentang pemberian ASI eksklusif bagi bayi,
pembatasan susu formula, termasuk pembatasan pengiklanan produk, dan
pembentukan ruangan menyusui di perusahaan.
Untuk pembatasan susu formula, Menkes menyebutkan bahwa petugas
kesehatan dilarang bekerja sama dengan perusahaan yang memproduksi susu
formula. Di PP itu akan diatur bahwa susu formula bagi anak berusia di
bawah setahun tidak boleh diiklankan.
Salah satu dokter anak penggiat ASI, dr Utami Roesli, SpA(K), IBCLC,
mendukung rencana pemerintah tersebut. “Semua yang menggantikan tempat
ASI untuk bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun tidak boleh diiklankan,
termasuk susu formula. Susu formula itu bukan makanan pendamping ASI,”
kata dr Utami dalam suatu kesempatan.
ASI makanan utama
Menurut dr Utami, makanan bagi bayi, terutama pada 6 bulan pertama,
adalah air susu ibu (ASI). Tidak ada yang bisa menggantikan kualitas
nutrisi ASI bagi bayi, semahal apa pun susu formula.
ASI unik karena setiap ibu akan menghasilkan ASI yang berbeda, sesuai
dengan kebutuhan bayinya. ASI hari ini belum tentu sama dengan ASI esok
hari. ASI untuk bayi prematur tidak akan sama dengan bayi lahir cukup
bulan.
Hal ini yang tidak mungkin diperoleh dari susu formula. Dari hari ke
hari, komposisi susu formula tetap seperti itu, tidak ada yang berubah.
Sayangnya, para ibu lupa akan kondisi ini sehingga tak sedikit yang
kemudian menggantungkan susu formula bagi bayinya. Akibatnya, pemberian
ASI eksklusif bagi bayi pun melorot.
Disebutkan oleh dr Dien, Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 menunjukkan bahwa bayi-bayi yang mendapat ASI secara eksklusif masih sekitar 42 persen. Namun, tahun 2003, jumlah itu turun menjadi 39 persen. Di satu pihak, penggunaan susu botol mengalami kenaikan tiga kali lipat dan 10 persen menjadi 30 persen.
Hasil pengamatan yang dilakukan dr Dien di delapan provinsi di wilayah Indonesia, bekerja sama dengan badan internasional pada tahun 2003-2005, menunjukkan bahwa hampir semua rumah sakit yang dikunjungi memberikan susu botol pada hari pertama ketika bayi lahir.
Kalau hal ini terus terjadi, risiko bayi mengalami sakit pasti bertambah. Pasalnya, susu formula tidak sesteril yang diperkirakan. “Susu bubuk formula bukanlah merupakan produk steril. Susu tersebut bisa terkontaminasi saat di pabrik,” imbuh David.
Belum lagi dengan sisi kehigienisan perlengkapan, seperti botol, dot, dan akses ke air bersih yang dibutuhkan untuk membuat susu formula. Dengan kata lain, kemungkinan bayi mengalami sakit menjadi lebih besar ketimbang diberikan ASI.
Berdasarkan pengalaman ibu bernama Rika, misalnya, hal tersebut bisa dilihat. Wanita karier ini memiliki dua anak yang hanya mendapat ASI selama dua bulan. Ia beralasan bahwa, “ASI saya tidak cukup, dan saya harus bekerja.” Mereka pun diberi susu formula hingga usia dua tahun.
“Susu formula yang saya berikan sudah dilengkapi dengan berbagai zat gizi. Jadi, saya pikir tidak masalah,” pikir karyawati perusahaan minyak ini.
Yang kemudian membuat Rika heran, anaknya kerap sakit, entah itu batuk atau pilek. Dalam setahun, ia bisa bolak-balik ke dokter anak karena daya tahan tubuh mereka rendah.
Masalah seperti inilah yang sering digarisbawahi oleh banyak ahli. Anak-anak yang diberi susu formula lebih rentan terkena infeksi atau jatuh sakit dibandingkan dengan anak yang diberi ASI.
Disebutkan oleh dr Dien, Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 menunjukkan bahwa bayi-bayi yang mendapat ASI secara eksklusif masih sekitar 42 persen. Namun, tahun 2003, jumlah itu turun menjadi 39 persen. Di satu pihak, penggunaan susu botol mengalami kenaikan tiga kali lipat dan 10 persen menjadi 30 persen.
Hasil pengamatan yang dilakukan dr Dien di delapan provinsi di wilayah Indonesia, bekerja sama dengan badan internasional pada tahun 2003-2005, menunjukkan bahwa hampir semua rumah sakit yang dikunjungi memberikan susu botol pada hari pertama ketika bayi lahir.
Kalau hal ini terus terjadi, risiko bayi mengalami sakit pasti bertambah. Pasalnya, susu formula tidak sesteril yang diperkirakan. “Susu bubuk formula bukanlah merupakan produk steril. Susu tersebut bisa terkontaminasi saat di pabrik,” imbuh David.
Belum lagi dengan sisi kehigienisan perlengkapan, seperti botol, dot, dan akses ke air bersih yang dibutuhkan untuk membuat susu formula. Dengan kata lain, kemungkinan bayi mengalami sakit menjadi lebih besar ketimbang diberikan ASI.
Berdasarkan pengalaman ibu bernama Rika, misalnya, hal tersebut bisa dilihat. Wanita karier ini memiliki dua anak yang hanya mendapat ASI selama dua bulan. Ia beralasan bahwa, “ASI saya tidak cukup, dan saya harus bekerja.” Mereka pun diberi susu formula hingga usia dua tahun.
“Susu formula yang saya berikan sudah dilengkapi dengan berbagai zat gizi. Jadi, saya pikir tidak masalah,” pikir karyawati perusahaan minyak ini.
Yang kemudian membuat Rika heran, anaknya kerap sakit, entah itu batuk atau pilek. Dalam setahun, ia bisa bolak-balik ke dokter anak karena daya tahan tubuh mereka rendah.
Masalah seperti inilah yang sering digarisbawahi oleh banyak ahli. Anak-anak yang diberi susu formula lebih rentan terkena infeksi atau jatuh sakit dibandingkan dengan anak yang diberi ASI.
Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak memberikan ASI bagi bayi
Anda. Lagi pula, lanjut dr Dien, “Sebanyak 99 persen ibu bisa menyusui.
Jadi, PD saja deh,” ujarnya.
Sumber : babyorchestra.wordpress.com
Sumber gamber : google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar